Mimpi Vs. Ekspektasi
Tanggal 22 Juli 2018, jam 10:34 malam. Waktu yang tepat untuk berpikir dan menuangkannya ke dalam sebuah tulisan, hanya untuk melegakan sang pemikirnya. Dan disini, gua akan jujur menceritakan perasaan gua yang tidak bisa gua ungkapkan kepada orang lain dan bahkan kepada diri sendiri (sebelumnya).
Seharian sudah gua pusing memikirkan tentang jalan mana yang harus gua tempuh. Apa harus gua mengikuti mimpi dan ego gua di Fisika UI? Atau mengikuti ekspektasi orang-orang yang hanya berorientasikan prospek di Statistika IPB?
Memang manusia sangat lucu. Diberi satu, inginnya dua. Diberi dua malah bingung karena harus memilih satu.
Akhirnya gua memantapkan hati sambil seraya berkata "Bismillah! Fisika UI!" yang kemudian dilanjutkan oleh ritual sholat istikhoroh, minta petunjuk pada Yang Maha Tahu tentang apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Namun, kenapa semenjak itu rasanya seperti gua seorang diri melawan dunia? Apa pilihan gua bukanlah pilihan-Nya?
Semua orang bersuka cita, memberi selamat, dan juga mendorong gua untuk mengambil Statistika IPB. Inti alasan atas semua dukungan itu cuma satu : proper and secured job. Wow, ternyata mereka tidak pernah benar-benar yakin kalau fisika akan bisa mengubah gua menjadi pribadi yang lebih baik dan tentu saja mapan. Mulai dari pakde, bude, om, tante, teman satu geng, teman satu kelas, teman SD, teman SMP, bahkan teman satu departemen di Fisika UI, dengan kompak menggiring opini gua bahwa statistikalah jawaban dari kebingungan gua. Sedangkan beberapa teman lainnya dan orangtua gua malah membiarkan gua memilih sendiri agar gua seoranglah yang mempertanggung jawabkan pilihan tersebut nantinya dan gua disuruh mengikuti passion gua aja.
Tunggu.
Passion apa?
Wadaw, bahkan sekedar passionpun gua bingung banget di masa seperti ini. Gua takut pilihan yang akan gua ambil hanyalah sebuah adrenaline rush sementara, bukan benar-benar passion gua. Gua takut ketika gua memilih jurusan tersebut dengan ekspektasi tinggi, pada akhirnya gua lah yang akan terpuruk seorang diri. Tapi, kenapa harus takut dan bingung? Bukankah gua punya Allah? Bukankah harusnya gua percaya bahwa segala sesuatu selalu punya alasan yang baik untuk terjadi? Bukankah apapun pilihan yang akhirnya gua pilih adalah pilihan Allah juga sejak dituliskannya takdir dan jalan hidup gua di Lauhul Mahfudz?
Pada akhirnya, tidak semua ekspektasi dapat dipuaskan, tidak semua harapan dapat diwujudkan. You can do anything, but not everything. Dan gua, pada detik ini (23/07/2018 jam 19:15), sekali lagi memantapkan hati.
Bismillah, Fisika UI!
alim juga gua dulu hmm
BalasHapus